SebelumIrwan Prayitno, ada Taufiq Ismail di samping ulama dahalu yang punya banyak genre puisi peristiwa, posisinya amat signifikan dalam khazanah kesusasteraan Islam di Indonesia. Dari perspektif puisi peristiwa dengan elegi Taufiq kalau tidak melebihi, setara dengan rasa` ( رثاء ) penyair besar Arab seperti Prof. Dr. Adonis (lahir 1930
Daftar Isi Sembunyikan NB Klik judul puisi dibawah untuk loncat menuju kebagian puisi Kembalikan Indonesia Padaku Mencari Sebuah Mesjid Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya Malu Aku Jadi Orang Indonesia Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka 0630 Benteng Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal Malam Sabtu Rendez - C Vous Bendera Laskar Dengan Puisi, Aku La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini Silhuet Bukit Biru, Bukit Kelu Persetujuan Bagaimana Kalau Dari Catatan Seorang Demonstran Refleksi Seorang Pejuang Tua Oda Bagi Seorang Sopir Truk Takut 66, Takut 98 Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis Ketika Burung Merpati Sore Melayang Yang Selalu Terapung Di Atas Gelombang Syair Empat Kartu Di Tangan Bayi Lahir Bulan Mei 1998 Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Menjawab Pertanyaan Cucumu Doa Presiden Boleh Pergi, Presiden Boleh Datang Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf Adakah Suara Cemara Kopi Menyiram Hutan Puisi Taufik Ismail - Taufiq Ismail adalah seorang penyair dan sastrawan asal Indonesia bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935, sekarang berumur 83 tahun. Beliau sudah banyak mendapat penghargaan dari karya sastranya, salah satu karya Taufiq Ismail yang paling terkenal adalah puisi berjudul Malu Aku jadi Orang Indonesia. Karya - karya beliau sangat luar biasa, setiap baitnya mempunyai makna yang dalam dan banyak karyanya yang memberikan motivasi bagi generasi muda untuk selalu memperjuangkan kehidupan berbangsa untuk memajukan bangsa ini menjadi lebih baik. Nah, bagi kalian yang sedang mencari karya puisi beliau. Saya sudah menyiapkan puisi karya Taufiq Ismail secara lengkap. Berikut adalah 33 puisi karya beliau yang terkenal. Baca Juga 150 Kumpulan Puisi Cinta Romantis, Sedih, Rindu, Galau Terbaik 41 Kumpulan Puisi Karya Rendra yang Melegenda 33 Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail yang Melegenda 43 Kumpulan Puisi Karya Emha Ainun Najib Cak Nun 31 Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono Sumber Google Images Puisi 1 Kembalikan Indonesia Padaku Taufiq Ismail Paris, 1971 Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, Kembalikan Indonesia padaku Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Kembalikan Indonesia padaku Puisi 2 Mencari Sebuah Mesjid Taufiq Ismail Jeddah, 30 Januari 1988 Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan fondasinya batu karang dan pualam pilihan atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan dan kubahnya tembus pandang, berkilauan digosok topan kutub utara dan selatan Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran dengan warna platina dan keemasan berbentuk daun-daunan sangat beraturan serta sarang lebah demikian geometriknya ranting dan tunas jalin berjalin bergaris-garis gambar putaran angin Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya dan menyeru azan tak habis-habisnya membuat lingkaran mengikat pinggang dunia kemudian nadanya yang lepas-lepas disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas yang memperindah ratusan juta sajadah di setiap rumah tempatnya singgah Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya engkau berjalan sampai waktu asar tak bisa kau capai saf pertama sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu bershalatlah di mana saja di lantai masjid ini, yang luas luar biasa Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian yang menyimpan cahaya matahari kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita Aku rindu dan mengembara mencarinya Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya tempat orang-orang bersila bersama dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan dalam simpul persaudaraan yang sejati dalam hangat sajadah yang itu juga terbentang di sebuah masjid yang mana Di manakah dia gerangan letaknya ? Pada suatu hari aku mengikuti matahari ketika di puncak tergelincir dia sempat lewat seperempat kuadran turun ke barat dan terdengar merdunya azan di pegunungan dan aku pun melayangkan pandangan mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan¡ dia menunjuk ke tanah ladang itu dan di atas lahan pertanian dia bentangkan kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran airnya bening dan dingin mengalir beraturan tanpa kata dia berwudhu duluan aku pun di bawah air itu menampungkan tangan ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan hangat air terasa, bukan dingin kiranya bercampur dengan air mataku Puisi 3 Seorang Tukang Rambutan Pada Istrinya Tadi siang ada yang mati, Dan yang mengantar banyak sekali Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah Yang dulu berteriak dua ratus, dua ratus! Sampai bensin juga turun harganya Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula Mereka kehausan datam panas bukan main Terbakar muka di atas truk terbuka Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu Biarlah sepuluh ikat juga Memang sudah rezeki mereka Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan “Hidup tukang rambutan!” Hidup tukang rambutani Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya Dan ada yang turun dari truk, bu Mengejar dan menyalami saya Hidup pak rambutan sorak mereka Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar “Hidup pak rambutan!” sorak mereka Terima kasih, pak, terima kasih! Bapak setuju karni, bukan? Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara Doakan perjuangan kami, pak, Masih meneriakkan terima kasih mereka “Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!” Saya tersedu, bu. Saya tersedu Belum pernah seumur hidup Orang berterima-kasih begitu jujurnya Pada orang kecil seperti kita. Puisi 4 Malu Aku Jadi Orang Indonesia Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga Ke Wisconsin aku dapat beasiswa Sembilan belas lima enam itulah tahunnya Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya, Whitefish Bay kampung asalnya Kagum dia pada revolusi Indonesia Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya Dadaku busung jadi anak Indonesia Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy Dan mendapat dari Rice University Dia sudah pensiun perwira tinggi dari Army Dulu dadaku tegap bila aku berdiri Mengapa sering benar aku merunduk kini Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia. Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu, Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang curang susah dicari tandingan, Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu, Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari, Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati, agar orangtua mereka bersenang hati, Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak utus dilarang-larang, Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman, Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja, fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz dan Irian, ada pula pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi. Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak Hukum tak tegak, doyong berderak-derak Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak, Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza Berjalan aku di Dam, Champs 0‡7lys¨¦es dan Mesopotamia Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata Dan kubenamkan topi baret di kepala Malu aku jadi orang Indonesia. Puisi 5 Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini Karena berhenti atau mundur Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran Tidak ada lagi pilihan lain Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tidak ada lagi pilihan lain Puisi 6 Surat Ini Adalah Sebuah Sajak Terbuka Surat ini adalah sebuah sajak terbuka Ditulis pada sebuah sore yang biasa. Oleh Seorang warganegara biasa Surat ini ditujukan kepada Penguasa-penguasa negeri ini. Mungkin dia Bernama Presiden. Jenderal. Gubernur. Barangkali dia Ketua MPRS Atau pemilik sebuah perusahaan politik Mungkin dia Mayor, Camat atau Jaksa Atau Menteri. Apa sajalah namanya Malahan mungkin dia saudara sendiri Jika ingin saya tanyakan adalah Tentang harga sebuah nyawa di negara kita Begitu benarkah murahnya? Agaknya Setiap bayi dilahirkan di Indonesia Ketika tali-nyawa diembuskan Tuhan ke pusarnya Dan menjeritkan tangis-bayinya yang pertama Ketika sang ibu menahankan pedih rahimnya Dan seluruh keluarga mendoa dan menanti ingin Akan datangnya anggota kemanusiaan baru ini Ketika itu tak seorangpun tahu Bahwa 20, 22 atau 25 tahun kemudian Bayi itu akan ditembak bangsanya sendiri Dengan pelor yang dibayar dari hasil bumi Di jalan depan kampus atau di mana saja Dan dia tergolek di sana jauh dari ibu, yang Melahirkannya. Jauh dari ayahnya Yang juga mungkin sudah tiada Bayi itu pecahlah dadanya. Mungkin tembus keningnya Darah telah mengantarkannya ke dunia Darah lalu melepasnya dari dunia Yang ingin saya tanyakan adalah Tentang harga sebuah nyawa di negara kita Begitu benarkah gampangnya? Apakah mesti pembunuhan itu penyelesaian Begitu benarkah murahnya? Mungkin sebuah Disiplin tegang dan kering Mungkin pengabdian kepada negara asing Surat ini adalah sebuah sajak terbuka Maafkan para studen sastra. Saya telah Menggunakan bahasa terlalu biasa Untuk puisi ini. Kalaulah ini bisa disebut puisi Maalkan saya menggunakan bahasa terlalu biasa Karena pembunuhan-pembunuhan di negeri inipun Nampaknya juga sudah mulai terlalu biasa Kita tak bisa membiarkannya lebih lama Kemudian kita dipenuhi pertanyaan Benarkah nyawa begitu murah harganya? Benarkah harga-diri manusia kita Benarkah kemanusiaan kita Begitu murah untuk umpan sebuah pidato Tertulis begini Dunia Kini Membutuhkan Waktu Yang Tepat¡ Di belakangnya langit pagi Tembok sungai dan kawat berduri Pengawalan berjaga. Di istana Berkata pada setiap yang lewat Membutuhkan Waktu Yang Tepat¡. Sesudah siang panas yang meletihkan Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung Bersandar dan berbaring, ada yang merenung Di lantai bungkus nasi bertebaran Dari para dermawan tidak dikenal Kulit duku dan pecahan kulit rambutan Lewatlah di samping Kontingen Bandung Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana Semuanya kumal, semuanya tak bicara Tapi kita tldak akan terpatahkan Oleh seribu senjata dari seribu tiran Tak sempat lagi kita pikirkan Keperluan-keperluan kecil seharian Studi, kamar-tumpangan dan percintaan Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam. Puisi 9 Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal Pengkhianatan itu telah terjadi Pengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret Ada manager-manager politik Ada ruang sidang dalam istana Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la tak ada kepala di atas bahu Ada penjara dan maut imajiner Usahawan-usahawan politik yang kocak¡­ Ruang sidang dalam istana tempolong ludah tak berkepala keranjang sampah di atas bahu Angin menerbangkan kertas-kertas statemen Terbang Segala kemungkinan bisa terjadi Maukah kita dikutuk anak-cucu Karena kita kini berserah diri? Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya Apakah kita hanya akan bernafas panjang Dan seperti biasa sabar mengurut dada? Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu Rakyat yang resah dan menanti Mereka telah menanti lama sekali Mereka sedang berdoa malam ini Dengar. Dengarlah hati-hati. Puisi 11 Rendez - C Vous Saya sudah mengetuk-ngetuk Mereka berkali-kali menolakku Mengiringkan langkah Sejarah Puisi 12 Bendera Laskar Kali pertama, di halaman kampus, pagi itu Telah berkibar bendera laskar Berkibar putih bagai mega Dengan garis-garis yang merah Karena telah dibayar dengan darah Dia telah mendengar teriakan kita Sepanjang jalan-jalan raya Di atas jip, di depan pawai-pawai semua Dia selalu mendahului kita Kepadanya berbagi nestapa kita Yang telah lama dihinakan Di depan markas, berkibar bendera laskar Hai kawan dan lambang kami yang setia Lambailah sejarah dari atas sana Buat generasi yang kukuh dan kekar. Puisi 13 Dengan Puisi, Aku Dengan puisi aku bernyanyi Sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta Dengan puisi aku mengenang Keabadian Yang Akan Datang Dengan puisi aku menangis Jarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutuk Puisi 14 La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini Kini anak-anak itu telah berpawai pula Dipanggang panas matahari ibukota Setiap lewat depan kampus berpagar senjata Mereka berteriak dengan suara tinggi Mereka telah direlakan ibu bapa Warganegara biasa negeri ini Kaki-kaki kecil yang tak kenal lelah Kini telah melangkahkan sejarah. Angin jalanan yang panjang Tak ada rumah. KIta tak berumah Kita lapar. Kita amat lapar Angin jalanan yang panjang Puisi 16 Bukit Biru, Bukit Kelu Adalah hujan dalam kabut yang ungu Turun sepanjang gunung dan bukit biru Ketika kota cahay dan di mana bertemu Awan putih yang menghinggapi cemaraku Adalah kemarau dalam sengangar berdebu Turun sepanjang gunung dan bukit kelu Ketika kota tak bicara dan terpaku Gunung api dan hama di ladang-ladangku Pernah menyinar merah kesumba Padang hilalang dan bukit membatu Momentum telah dicapai. Kita Dalam estafet amat panjang Menyebar benih ini di bumi Adikku Kappi, engkau sangat muda Mari kita berpacu dengan sejarah Puisi 18 Bagaimana Kalau Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat, Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat, Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco, Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari, Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop, Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra, Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan, Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu, Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita pelihara ternak sebagai pengganti Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi. Puisi 19 Dari Catatan Seorang Demonstran Taufik Ismail Yayasan Ananda, Jakarta, 1993 Tanpa jenderal, tanpa senapan Pada hari-hari yang mendung Di sinilah keberanian diuji Kebenaran dicoba dihancurkn Di depan menghadang ribuan lawan Puisi 20 Refleksi Seorang Pejuang Tua Tentara rakyat telah melucuti Kebatilan Setelah mereka menyimak deru sejarah Dalam regu perkasa mulallah melangkah Karena perjuangan pada hari-hari ini Adalah perjuangan dari kalbu yang murni Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya Kecuali dua puluh tahun yang lalu Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya Pelajar muda berlarian ke jalan-jalan raya Mereka kembali menyeru-nyeru Seperti dua puluh tahun yang lalu Spiral sejarah telah mengantarkan kita Tak ada seorang pun tiran Sanggup di tengah jalan mengangkat tangan Tidak ada. Dan kalau pun ada Karena perjuangan pada hari-hari ini Adalah perjuangan dimulai dari sunyi Belum pernah kesatuan terasa begini eratnya Kecuali duapuluh tahun yang lalu. Puisi 21 Oda Bagi Seorang Sopir Truk Telah beruban dan agak bungkuk Dalam tidumya ia bermimpi Jalanan telah rata. Ditempuhnya Dengan klakson yang bisa berlagu Beribu anak-anak demonstran Tersenyum padanya, mengelu-elukan Hiduplah bapak supir yang tua Yang dulu berjuang bersama kami Di tepi sebuah jalan di ibukota Ketika udara panas, di suatu senja Seorang supir lusuh dengan truk yang tua Duduk sendiri terkantuk-kantuk Semakin letih, semakin bungkuk. Puisi 22 Takut 66, Takut 98 Mahasiswa takut pada dosen Rektor takut pada menteri Menteri takut pada presiden Presiden takut pada mahasiswa Puisi 23 Kalian Cetak Kami Jadi Bangsa Pengemis Kami generasi yang sangat kurang rasa percaya diri Gara-gara pewarisan nilai, sangat dipaksa-tekankan Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami Sejak lahir sampai dewasa ini Jadi sangat tepergantung pada budaya Meminjam uang ke mancanegara Sudah satu keturunan jangka waktunya Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia Kita gadaikan sikap bersahaja kita Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri Sambil kepala kita dimakan begini Kita diajarinya pula tata negara dan ilmu budi pekerti Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama Menggigit dan mengunyah teratur berirama Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini Bagai ikan kekurangan air dan zat asam Beratus juta kita menggelepar menggelinjang Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya Meminjam kepeng ke mancanegara Dari membuat peniti dua senti Sampai membangun kilang gas bumi Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami Kalian lah yang membuat kami jadi begini Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini Puisi 24 Ketika Burung Merpati Sore Melayang Langit akhlak telah roboh di atas negeri Karena akhlak roboh, hukum tak tegak berdiri Karena hukum tak tegak, semua jadi begini Negeriku sesak adegan tipu-menipu Bergerak ke kiri, dengan maling kebentur aku Bergerak ke kanan, dengan perampok ketabrak aku Bergerak ke belakang, dengan pencopet kesandung aku Bergerak ke depan, dengan penipu ketanggor aku Bergerak ke atas, di kaki pemeras tergilas aku Kapal laut bertenggelaman, kapal udara berjatuhan Gempa bumi, banjir, tanah longsor dan orang kelaparan Kemarau panjang, kebakaran hutan berbulan-bulan Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu berkepulan Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan Beribu pencari nafkah dengan kapal dipulangkan Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan Penyakit nyamuk membunuh bagai ejekan Berjuta belalang menyerang lahan pertanian Bumiku demam berat, menggigilkan air lautan Lalu berceceran darah, berkepulan asap dan berkobaran api Empat syuhada melesat ke langit dari bumi Trisakti Gemuruh langkah, simaklah, di seluruh negeri Beribu bangunan roboh, dijarah dalam huru-hara ini Dengar jeritan beratus orang berlarian dikunyah api Mereka hangus-arang, siapa dapat mengenal lagi Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri Kukenangkan tahun 1947 lama aku jalan di Ambarawa dan Salatiga Balik kujalani Clash I di Jawa, Clash II di Bukittinggi Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan Belanda seantero negeri Seluruh korban empat tahun revolusi Dengan Mei 1998 jauh beda, jauh kalah ngeri Aku termangu mengenang ini Bumiku sakit berat, dengarlah angin menangis sendiri Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang Ke daun telingaku, jari Tuhan memberi jentikan Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan Di aorta jantungku, musibah bersimbah darah Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk mencekik nafasku Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu? Ada burung merpati sore melayang Adakah desingnya kau dengar sekarang Puisi 25 Yang Selalu Terapung Di Atas Gelombang Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Kini simaklah sebuah kisah, gajinya sebulan satu setengah juta rupiah, Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam, BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah. Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah. Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika, Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa. Saudara sepupu dan kemenakannya punya lima toko onderdil, enam biro iklan dan tujuh pusat belanja, Ketika rupiah anjlok terperosok, kepleset macet dan hancur jadi bubur, dia ketawa terbahak- bahak karena depositonya dalam dolar Amerika semua. Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat, Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri, maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. Isinya masing-masing lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi, dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali, Gelombang mau datang, datanglah gelombang, setiap air bah pasang dia senantiasa terapung di atas banjir bandang. Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,¡ Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah kekayaan misterius mau diperiksa, kekayaan tidak jadi diperiksa, kekayaan tidak diperiksa, kekayaan harus diperiksa, kekayaan tidak jadi diperiksa. Bandul jam tua Westminster, tahun empat puluh satu diproduksi, capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri, Kemudian ide baru datang lagi, isi formulir harta benda sendiri, dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, karena ini soal sangat pribadi, Selepas itu suasana hening sepi lagi, cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali, Seseorang dianggap tak bersalah, sampai dia dibuktikan hukum bersalah. Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. Bagaimana membuktikan bersalah, kalau kulit tak dapat dijamah. Menyentuh tak bisa dari jauh, memegang tak dapat dari dekat, orde datang dan orde berangkat, dia akan tetap saja selamat, di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania, seraya menghirup teh nasgitel dia duduk menerima telepon dari isterinya yang sedang tur di Venezia, sesudah menilai tiga proposal, dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja, Sementara itu disimaknya lagu favorit My Way, senandung lama Frank Sinatra yang kemarin baru meninggal dunia, ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta dari sangkar tergantung di atas sana di layar kaca jinggel bola Piala Dunia, Puisi 26 Syair Empat Kartu Di Tangan Ini bicara blak-blakan saja, bang Buka kartu tampak tampang Sehingga semua jelas membayang Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara Koyak tampak terkubak semua Sehingga buat apa basi dan basa Jangan sungkan buat apa yah-payah Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan Setiap jeroan berjajar kelihatan Sehingga jelas sebagai keseluruhan Puisi 27 Bayi Lahir Bulan Mei 1998 Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tetangga Suaranya keras, menangis berhiba-hiba Begitu lahir ditating tangan bidannya Belum kering darah dan air ketubannya Langsung dia memikul hutang di bahunya Kalau dia jadi petani di desa Dia akan mensubsidi harga beras orang kota Kalau dia jadi orang kota Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya Pajak itu mungkin jadi peluru runcing Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing Cobalah nasihati bayi ini dengan penataran juga Mulutmu belum selesai bicara Puisi 28 Ketika Sebagai Kakek di Tahun 2040, Menjawab Pertanyaan Cucumu Cucu kau tahu, kau menginap di DPR bulan Mei itu Bersama beberapa ribu kawanmu Marah, serak berteriak dan mengepalkan tinju Bersama-sama membuka sejarah halaman satu Lalu mengguratkan baris pertama bab yang baru Seraya mencat spanduk dengan teks yang seru Terpicu oleh kawan-kawan yang ditembus peluru Dikejar masuk kampus, terguling di tanah berdebu Dihajar dusta dan fakta dalam berita selalu Sampai kini sejak kau lahir dahulu Inilah pengakuan generasi kami, katamu Hasil penataan dan penataran yang kaku Pandangan berbeda tak pernah diaku Daun-daun hijau dan langit biru, katamu Daun-daun kuning dan langit kuning, kata orang-orang itu Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu Kekayaan alam untuk nafsuku, kata orang-orang itu Karena tak mau nasib rakyat selalu jadi mata dadu Yang diguncang-guncang genggaman orang-orang itu Dan nomor yang keluar telah ditentukan lebih dulu Maka kami bergeraklah kini, katamu Berjalan kaki, berdiri di atap bis yang melaju Kemeja basah keringat, ujian semester lupakan dulu Memasang ikat kepala, mengibar-ngibarkan benderamu Tanpa ada pimpinan di puncak struktur yang satu Tanpa dukungan jelas dari yang memegang bedil itu Sudahlah, ayo kita bergerak saja dulu Kita percayakan nasib pada Yang Satu Itu. Telah nista kami dalam dosa bersama Bertahun membangun kultus ini Kau rela menerima kembali Puisi 30 Presiden Boleh Pergi, Presiden Boleh Datang tapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di atas gelombang itu selamat Mereka tidak mengalami guncangan yang berat Yang selalu terapung di atas gelombang Seseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan hukum bersalah Di negeri kami ungkapan ini begitu indah Kini simaklah sebuah kisah Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu, Honda metalik, dan Mercedes merah Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa Selain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil, lima biro iklan, dan empat pusat belanja. Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet dan hancur jadi bubur, dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar Amerika semua Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat, jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat Krisis makin menjadi-jadi Maka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi Lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng, dan tiga bungkus mie cepat jadi. Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi dan masuk koran halaman lima pagi sekali Datang lagi gelombang setiap bah air pasang Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi lalu ia berkata sambil berdiri Yaaa¡­ masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiri Seperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius mau diperiksa Kekayaan¡­ tidak jadi diperiksa Kekayaan¡­ tidak jadi diperiksa Kekayaan¡­ tidak jadi diperiksa Kekayaan¡­ harus diperiksa Kekayaan¡­ tidak jadi diperiksa Puisi 31 Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf Taufik Ismail Cape Town, 26 April 1993. Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertama dan memandang bekas tumpak bumi yang pernah menating jenazahnya. Kemudian lihat saya keluar bangunan itu, pergi ke empat kuburan dengan empat nisan berjajar, tiada bernama tapi berukir Asmaul Husna. Di situ empat orang terbujur mungkin ulama, mungkin komandan pasukan mungkin orang Makasar, Bugis atau Banten. Kemudian bayangkan sebuah meriam bercat hitam menunjuk cakrawala langit Afrika. Ikutilah kini saya surut tiga abad mengingat-ingat jalan pertempuran ketika Tuan Yusuf jadi komandan. Dengar angin bertiup di Faure waktu itu mungkin dari dua samudera yang bersalam-salaman mungkin juga suhu dingin dari Kutub Selatan. Lihat dedaunan musim rontok pada dedahanan mengitari teluk bermerahan yang berbisik-bisik menyanyi ketika warna ganti berganti. Dapatkah kita membayangkan seorang sufi yang cendekia zikir membalut tubuhnya karangan mengalir melalui kalam terbuat dari sembilu bambu dengan dawat berwarna merah dan hitam jadi buku Lantas fantasikan tulang-belulang seorang pemberani berlayar lebih kilometer lewat dua samudera suara angin dari barat menampar-nampar tujuh layar di pesisir Celebes buang jangkar lalu orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormat ke dalam bumi Lakiung dekat tempat ibunya Aminah bertumpah darah melahirkannya. Wahai sukarnya bagiku mereka-reka garis wajahmu karena rupa tuan tidak direkam dalam fotografi abad ini tidak juga dibuatkan lukisan pesanan pemerintah dalam potret cat akrilik lima warna namun kubayangkan sajalah kira-kira wajah seorang sangat jantan, 65, bermata tajam, bernafas ikhlas berjanggut tipis bersuara dalam bertubuh langsing berbahasa fasih Makasar Bugis Arab Belanda dan Melayu. Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada Tuan. Dan sebenarnya di lubuk hati Gubernur dan manajer-manajer maskapai dagang VOC yang gemar menyalakan meriam dan mesiu itu Tapi mereka mesti membuang Tuan ke Batavia, Ceylon, lalu kilometer ke benua ini karena mereka tak mau tergaduh dalam pengumpulan uang emas disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari kayu jati dengan bingkai besi begitu kubaca catatan mereka. Apa format dan fisiologi kecendekiaan dan kejantananmu ya Syekh? Perhatikan kini kabut jadi gulung-gemulung mega, lepas meluncur cepat dari Gunung Meja yang memandang dua samudera. Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata kau merdeka hari ini karena tiga abad lalu telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri untukmu. Aku mendengar zikir mengalir lewat sembilan burung camar yang sayapnya seperti berombak menyanyi. Puisi 32 Adakah Suara Cemara Adakah lautan ladang jagung Puisi 33 Kopi Menyiram Hutan Sebelum matahari dimunculkan Ketika tangan bersilangan Menyiram tiga juta hektar koran Koran basah dilipat empat Keranjang plastik anyaman Jam setengah delapan. Sumber Penyair Terkenal
r0c8u.
  • mpnixe7v2v.pages.dev/396
  • mpnixe7v2v.pages.dev/234
  • mpnixe7v2v.pages.dev/383
  • mpnixe7v2v.pages.dev/382
  • mpnixe7v2v.pages.dev/11
  • mpnixe7v2v.pages.dev/319
  • mpnixe7v2v.pages.dev/366
  • mpnixe7v2v.pages.dev/271
  • mpnixe7v2v.pages.dev/380
  • puisi guru karya taufik ismail